“Kisah misteri seputar Watudodol (baca: Watudhodhol) di Ketapang Banyuwangi Jawa Timur, hingga kini mitosnya tetap melegenda. Namun tak banyak yang tahu jika Watudodol itu merupakan sisa bongkahan bebatuan sebagai perwujudan dari salah satu hasil 4 kesepakatan perjanjian gaib antara Ki Buyut Jaksa dengan Raja Dedemit Sang penguasa kerajaan di alam kegaiban sana. Sehingga tak mengherankan jika pada waktu tertentu di Watudodol terlihat ada penampakan-penampakan yang sangat menyeramkan.”
Jika diperhatikan dengan seksama dalam jarak dekat, bongkahan batu yang dikenal sebagai Watudodol itu memang sangat misterius. Betapa tidak, karena batu besar itu di ujung bawahnya hanya menempel di bebatuan lainnya. Selain tampak renggang, sama sekali ujungnya tidak masuk dan terpendam ke bawah.
Anehnya lagi batu bernama Watudodol yang berdiri di tengah jalan raya tersebut sangat kokoh dan sama sekali tidak tergoyahkan oleh hal apapun. Bahkan menurut cerita di masa lalu, -konon pada jaman penjajahan Jepang-, Watudodol itu katanya pernah ditarik oleh beberapa kapal untuk dirobohkan. Ajaibnya Watudodol bukannya roboh, namun justru kapal-kapal penarik itulah ditarik balik ke daratan hingga hancur berantakan berkeping-keping.
Menurut Budayawan Banyuwangi, H Abdullah Fauzy mengungkapkan, dulu Banyuwangi masih bernama Kadipaten Blambangan. Dimana semasa pemerintahan Adipati Mas Alit sekitar tahun 1774 an, VOC Belanda membutuhkan akses jalan dari Blambangan kota menuju Blambangan daerah utara. Namun terhalang oleh bukit bebatuan keras yang sulit untuk ditaklukkan.
“Ribuan orang dikerahkan untuk kerja rodi membuat akses jalan di bukit bebatuan Ketapang. Namun tak ada yang berhasil untuk memecahkan bebatuan tersebut. Bahkan ribuan nyawa pula yang melayang menjadi tumbal. Sedangkan bukti bebatuannya tetap berdiri mengangkang dengan kokohnya,” ungkap Fauzy dalam wawancara podcast di kanal YouTube LSAP Banyuwangi.
Tonton juga video terkait di bawah ini:
Baik Mas Alit maupun VOC Belanda hampir berputus asa, karena sudah mengerahkan ribuan pekerja rodi secara bergelombang namun tak membuahkan hasil. Bahkan diadakan sayembara juga hanya kegagalan demi kegagalan yang didapat. Akhirnya Mas Alit mendapatkan petunjuk dari orang-orang terdekatnya agar minta tolong kepada Ki Buyut Jaksa alias Ki Martojoyo yang bertempat tinggal di daerah Boyolangu.
“Awalnya Ki Buyut Jaksa beberapa kali dimintai tolong tersebut menolak, alasannya karena Mas Alit telah berkompromi dengan VOC Belanda. Namun dalam perenungan panjangnya akhirnya Ki Buyut Jaksa menerima permintaan Mas Alit. Hal itu dengan mempertimbangkan kepentingan rakyat Blambangan di masa-masa mendatang,” ujarnya seraya memberikan alasannya.
Sesuai waktu yang sudah ditentukannya, lanjut Fauzy, di tengah malam Ki Buyut Jaksa melakukan ritual khusus untuk memanggil Raja Dedemit penguasa bukit bebatuan Ketapang. Tiba-tiba angin kencang menderu-deru disertai api berkobar-kobar dari arah utara. Ternyata tak selang beberapa lama datang Raja Dedemit diiringi ribuan pengikutnya menemui Ki Buyut Jaksa.
“Saat bertemu dan melakukan dialog antara Ki Buyut Jaksa dengan Raja Dedemit terjadilah ketegangan dalam suasana mencekam. Karena saat Ki Buyut Jaksa mengutarakan niatnya untuk minta ijin mendhodhol bukit bebatuan membuat akses jalan namun ditolak mentah-mentah oleh Raja Dedemit. Ternyata Ki Buyut Jaksa tidak kehabisan akal dan mengancam akan mengobrak-abrik kerajaan gaibnya. Akhirnya Raja Dedemit pun luluh menuruti keinginan Ki Buyut Jaksa,” katanya dengan nada bersungguh-sungguh.
Setelah rembug cukup alot maka dibuatlah kesepakatan-kesepakatan bersama dengan membuahkan hasil 4 (empat) isi perjanjian. Pertama, yang mempimpin pendhodholan atau pemangkasan bukit bebatuan adalah sosok yang memegang tongkat kayu keramat. Dalam hal ini Ki Buyut Jaksa menunjuk anak angkatnya yang bernama Nur Iman selaku pemegang tongkat keramatnya.
“Adapun isi kedua dalam perjanjian, bahwa bebatuan yang boleh didhodhol atau dipangkas hanya sesuai dengan garis yang sudah ditentukan bersama. Jadi baik utusan Ki Buyut Jaksa maupun pengikutnya Raja Dedemit tidak boleh melanggar hasil kesepakatan tersebut,” urainya.
Ditambahkannya, dari seputar daerah garis kesepakatan bebatuan bukit yang didhodhol tidak boleh diratakan semuanya. Dimana Raja Dedemit meminta agar menyisakan bongkahan batu besar tegak menjulang yang dengan dekat bibir pantai.
“Raja Dedemit mempunyai alasan sendiri mengapa minta menyisakan bongkahan batu besar menjulang yang kemudian dikenal sebagai Watudodol itu. Karena Raja Dedemit ingin menjadikan sisa bongkahan batu besar tersebut sebagai tahta singgasananya sekaligus dijadikan lambang kehormatannya,” tandas Fauzy mengurai misterinya.
Sedangkan isi keempat dalam perjanjian, yaitu adanya kesepakatan bersama bahwa setiap hari kesepuluh bulan Syawal anak keturunan dan rakyat Ki Buyut Jaksa di Boyolangu wajib mengunjungi area Watudodol. Selama berada di area Watudodol Ketapang Banyuwangi tersebut melakukan rutinitas ritual perdamaian.
“Kunjungan anak keturunan Ki Buyut Jaksa dan rakyat Boyolangu ke area Watudodol setiap hari kesepuluh pada bulan Syawal tersebut kemudian dikenal sebagai tradisi Puter Kayun. Yakni rombongan dengan menaiki dokar ditarik kuda. Itulah alasannya mengapa setiap tahun hingga sekarang tradisi Puter Kayun secara rutin dilakukan oleh anak keturunan Ki Buyut Jaksa dan warga Boyolangu. Karena itu pesan perdamaian serta untuk nguri-nguri warisan leluhurnya,” pungkas Fauzy berusaha menyakinkan. (tim dhuta ekspresi)